Sumber gambar: http://www.andriewongso.com/uploads/2015/12/Nurcholish-Madjid-Cendekiawan-Indonesia_2014-08-29-13-50-34_640x321-Nurcholis-Madjid.jpg
Oleh: Andhika
Ripwan Saputra
Pendahuluan
Nurcholish
Madjid adalah salah satu tokoh cendikiawan muslim yang berperan penting dalam
mengawal proses transisi demokrasi dari rezim Orde Baru menuju bergulirnya
reformasi 1998.[1]
Beliau mempunyai kontribusi signifikan dalam menyampaikan nilai-nilai
demokratis ketika terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru yang
cenderung menjalankan kekuasaan dengan model otoriter, hingga pada masa
transisi reformasi bergulirpun ide-ide Nurcholish Madjid turut mewarnai
perubahan kehidupan bernegara dan kebijakan-kebijakan politis di era reformasi
yang dikenal sebagai era terbukanya keran demokrasi di Indonesia.
Pada rezim Orde Baru para kritikus
dari kalangan cendikiawan dibatasi gerak pemikirannya, posisi mereka diganjal
bahkan dipinggirkan. Setiap pendapat yang bernada kritik akan dihadapkan dengan
tangan besi Soeharto dan dipaksakan untuk melayani kepentingannya. Soeharto
menganggap kritis yang dilontarkan oleh kalangan cendikiawan adalah penghalang
yang menghambat proses pembangunan.[2] Meskipun Nurcholish Madjid
memiliki kedekatan dengan Soeharto.
Di tengah kejayaan rezim Orde Baru,
Nurcholish Madjid justru melontarkan ide oposisi ke dalam kekuasaan otoriter
yang merupakan bagian vital pemerintahan Soeharto. Ide Nurcholish mengenai
perlunya keseimbangan berangkat dari pemikirannya mengenai agama, bahwa bumi
diciptakan Tuhan dengan prinsip keseimbangan.[3] Selain itu, Golkar
didukung dengan 3M (militer, mesin birokrasi, dan money), sehingga dapat dipastikan menang. Untuk mengimbangi Golkar
dukungan mahasiswa dan pemuda harus diberikan kepada partai politik lain.
Berangkat dari masalah tersebut
paper ini ingin mencoba menjelaskan bagaimana gagasan oposisi Nurcholish madjid
yang di kemukakan dan menjadi landasan kritik terhadap poitik rezim Orde Baru?
Pertanyaan ini perlu dijawab guna memberikan informasi mengenai peran dari
Nurcholish Madjid sebagai konseptor gagasan oposisi.
Gagasan Oposisi
Pada
saat soeharto berkuasa, sektor politik di tubuh rezim orde baru melawan arus
demokrasi, kekuasaan eksekutif justru mengendalikan dua lembaga penting negara
yaitu legislatif yang diperankan oleh MPR/DPR dan yudikatif sebagai lembaga
penegak hukum. Pengawasan dan pengimbangan yang efektif akan terwujud jika
masing-masing dari ketiga unsur tersebut independen satu dari yang lain dan
berkebebasan melaksanakan pengawasan dan pengimbangan satu sama lain.[4] Dominasi politik demikian
tentu memberikan peluang bagi aktor oposisi untuk melakukan monitoring kinerja
pemerintah.
Aturan main politik rezim Orde Baru
menurut Nurcholish Madjid yang harusnya menjadi saingan berat Golkar kehilangan
potensi untuk melakukan persaingan secara sehat dan terbuka. Jika peran oposisi
partai politik yang sah secara konstitusional saja mengalami penyempitan, maka
dapat dipastikan fungsi oposisi non politik yang dalam hal ini adalah
organisasi kemasyarakatan, pers, cendikiawan, mengalami kesulitan. Melihat
kondisi seperti ini Nurcholish Madjid secara lugas melontarkan ide oposisi
sebagai reaksi atas otoritarianisme kekuasaan Orde Baru.
Nurcholish Madjid melontarkan wacara
keberadaan oposisi yang mesti disadari oleh pemerintah Orde Baru. Menurutnya
diperlukan peran oposisi yang secara langsung diperankan oleh partai politik
yang bersaing dalam pemilu dan melakukan evaluasi monitoring terhadap partai
politik yang berkuasa memegang kendali pemerintahan. Dalam tataran aplikasi,
pada 1971 Nucholish Madjid memberikan dorongan kepada mahasiswa dan pemuda
untuk mendukung partai politik lain, untuk mengimbangi kekuatan Golkar yang
mendapat sokongan dari kalangan elit yaitu militer, birokrat dan dana[5].
Selain itu, Nurcholish berpendapat
untuk memantau aplikasi kekuasaan diperlukan bentuk oposisi tidak langsung yang
diperankan kaum cendikiawan yang tidak terikat oleh kekuasaan. Fungsi mereka
menyuplai ide-ide konstruktif untuk kemajuan demokrasi namun tidak memasuki
wilayah politik praktis. Dalam istilah Nurcholish Madjid fungsi cendikiawan
semacam itu disebut bebas tapi aktif.[6]
Menurut Nurcholish, demokrasi yang
sehat memerlukan check and balance.
Ada kekuatan pemantau dan pengimbang. Ia bersandar pada pandangan filosofis
bahwa manusia itu tidak mungkin selalu benar, karena itu harus ada cara untuk
saling mengingatkan, apa yang tidak baik dan tidak benar.[7] Ia memberikan contoh orang
yang menyatakan hendak mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni, namun
dalam pelaksanaanya belum tentu benar. Karena itu, menurutnya, dalam masyarakat
harus ada mekanisme untuk tukar pikiran. Atau dalam bentuk yang lebih canggih.[8]
Nurcholish menyadari bahwa ide-ide
seperti oposisi belum bisa diterima bukan saja oleh kalangan penguasa, bahkan
juga oleh para politisi partai (oposisi) sendiri. Alasannya oposisi masih
dianggap sebagai ancaman, karena dilihat sebagai upaya untuk menjatuhkan
pemerintahan.[9]
Walaupun demikian gagasan oposisi harus dilaksanan guna membuat keseimbangan
antara negara dan masyarakat.
Kesimpulan
Usaha Nurcholish Madjid mengenai
gagasan oposisi berangkat dari kesadaranya akan ajaran agama mengenai prinsip
keseimbangan. Upaya tersebut dilakukannya sebagai usaha untuk mengawal kinerja
pemerintahan dan kritikan terhadap otoritarianisme rezim orde baru yang melawan
arus demokrasi dan mematikan fungsi trias politika.
[1] Diro Aristonang, Runtuhnya Rezim daripada Soeharto
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h.233.
[2] Muhammad A.S Hikam, “Depolitisasi,
Reformasi dan Gerakan Mahasiswa, dalam Fahruz Zaman Fadhly”, ed., Mahasiswa Menggugat: Potrer Gerakan
Mahasiswa 1998 (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. 27.
[3] Ahmad Gaus A.F, Api Islam Nucholish Madjid: Jalan Hidup Seorang
Visioner, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010), hal. 259.
[4] Nurcholish Madjid, “Menata Kembali
Kehidupan Bermasyarakat dan Bernegara”, Titik-Temu
Jurnal Dialog Peradaban II, no.1 (Desember 2009): hal. 26.
[5] Ungkapan tersebut dapat dipahami
bahwa ia menghendaki agar mahasiswa dan pemuda tidak memilih Golkar dengan
tujuan persaingan politik dalam pemilu berlangsung secara imbang. Lihat Nurcholish
Madjid, Dialog Keterbukaan: Artikulasi
Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (Jakarta: Paramadina,
1998), hal. 6
[6] Ibid, hal. 11.
[7] Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta:
Yayasan Paramadina, 1999), hal. 6
[8] Ujar Nurcholish, “adanya kebebasan
menyatakan pendapat, kebebasan akademik, kebebasan pers, dan sebagainya”. Lihat
Ahmad Gaus A.F, Api Islam Nucholish
Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner, (Jakarta: Kompas Media Nusantara,
2010), hal. 260.
[9] Padahal, menurutnya, “Oposisi itu
wujud dari pengakuan adanya perbedaan pandangan, itu sah dan tidak usah
khawatir bahwa partai oposisi itu akan menggulingkan pemerintah”. Karena itu
Nurcholish Madjid tetap berpandangan bahwa ide mengenai oposisi itu harus
dilaksanakan. Lihat Ahmad Gaus A.F, Api
Islam Nucholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner, (Jakarta: Kompas
Media Nusantara, 2010), hal. 260.
[full-width]
No comments:
Post a Comment