November 24, 2016

PERAN CENDIKIAWAN DALAM TRANSISI DEMOKRASI ERA REFORMASI: GAGASAN OPOSISI NURCHOLISH MADJID

Sumber gambar: http://www.andriewongso.com/uploads/2015/12/Nurcholish-Madjid-Cendekiawan-Indonesia_2014-08-29-13-50-34_640x321-Nurcholis-Madjid.jpg

Oleh: Andhika Ripwan Saputra

Pendahuluan

            Nurcholish Madjid adalah salah satu tokoh cendikiawan muslim yang berperan penting dalam mengawal proses transisi demokrasi dari rezim Orde Baru menuju bergulirnya reformasi 1998.[1] Beliau mempunyai kontribusi signifikan dalam menyampaikan nilai-nilai demokratis ketika terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru yang cenderung menjalankan kekuasaan dengan model otoriter, hingga pada masa transisi reformasi bergulirpun ide-ide Nurcholish Madjid turut mewarnai perubahan kehidupan bernegara dan kebijakan-kebijakan politis di era reformasi yang dikenal sebagai era terbukanya keran demokrasi di Indonesia.
            Pada rezim Orde Baru para kritikus dari kalangan cendikiawan dibatasi gerak pemikirannya, posisi mereka diganjal bahkan dipinggirkan. Setiap pendapat yang bernada kritik akan dihadapkan dengan tangan besi Soeharto dan dipaksakan untuk melayani kepentingannya. Soeharto menganggap kritis yang dilontarkan oleh kalangan cendikiawan adalah penghalang yang menghambat proses pembangunan.[2] Meskipun Nurcholish Madjid memiliki kedekatan dengan Soeharto.
            Di tengah kejayaan rezim Orde Baru, Nurcholish Madjid justru melontarkan ide oposisi ke dalam kekuasaan otoriter yang merupakan bagian vital pemerintahan Soeharto. Ide Nurcholish mengenai perlunya keseimbangan berangkat dari pemikirannya mengenai agama, bahwa bumi diciptakan Tuhan dengan prinsip keseimbangan.[3] Selain itu, Golkar didukung dengan 3M (militer, mesin birokrasi, dan money), sehingga dapat dipastikan menang. Untuk mengimbangi Golkar dukungan mahasiswa dan pemuda harus diberikan kepada partai politik lain.
            Berangkat dari masalah tersebut paper ini ingin mencoba menjelaskan bagaimana gagasan oposisi Nurcholish madjid yang di kemukakan dan menjadi landasan kritik terhadap poitik rezim Orde Baru? Pertanyaan ini perlu dijawab guna memberikan informasi mengenai peran dari Nurcholish Madjid sebagai konseptor gagasan oposisi.

Gagasan Oposisi

            Pada saat soeharto berkuasa, sektor politik di tubuh rezim orde baru melawan arus demokrasi, kekuasaan eksekutif justru mengendalikan dua lembaga penting negara yaitu legislatif yang diperankan oleh MPR/DPR dan yudikatif sebagai lembaga penegak hukum. Pengawasan dan pengimbangan yang efektif akan terwujud jika masing-masing dari ketiga unsur tersebut independen satu dari yang lain dan berkebebasan melaksanakan pengawasan dan pengimbangan satu sama lain.[4] Dominasi politik demikian tentu memberikan peluang bagi aktor oposisi untuk melakukan monitoring kinerja pemerintah.
            Aturan main politik rezim Orde Baru menurut Nurcholish Madjid yang harusnya menjadi saingan berat Golkar kehilangan potensi untuk melakukan persaingan secara sehat dan terbuka. Jika peran oposisi partai politik yang sah secara konstitusional saja mengalami penyempitan, maka dapat dipastikan fungsi oposisi non politik yang dalam hal ini adalah organisasi kemasyarakatan, pers, cendikiawan, mengalami kesulitan. Melihat kondisi seperti ini Nurcholish Madjid secara lugas melontarkan ide oposisi sebagai reaksi atas otoritarianisme kekuasaan Orde Baru.
            Nurcholish Madjid melontarkan wacara keberadaan oposisi yang mesti disadari oleh pemerintah Orde Baru. Menurutnya diperlukan peran oposisi yang secara langsung diperankan oleh partai politik yang bersaing dalam pemilu dan melakukan evaluasi monitoring terhadap partai politik yang berkuasa memegang kendali pemerintahan. Dalam tataran aplikasi, pada 1971 Nucholish Madjid memberikan dorongan kepada mahasiswa dan pemuda untuk mendukung partai politik lain, untuk mengimbangi kekuatan Golkar yang mendapat sokongan dari kalangan elit yaitu militer, birokrat dan dana[5].
            Selain itu, Nurcholish berpendapat untuk memantau aplikasi kekuasaan diperlukan bentuk oposisi tidak langsung yang diperankan kaum cendikiawan yang tidak terikat oleh kekuasaan. Fungsi mereka menyuplai ide-ide konstruktif untuk kemajuan demokrasi namun tidak memasuki wilayah politik praktis. Dalam istilah Nurcholish Madjid fungsi cendikiawan semacam itu disebut bebas tapi aktif.[6]
            Menurut Nurcholish, demokrasi yang sehat memerlukan check and balance. Ada kekuatan pemantau dan pengimbang. Ia bersandar pada pandangan filosofis bahwa manusia itu tidak mungkin selalu benar, karena itu harus ada cara untuk saling mengingatkan, apa yang tidak baik dan tidak benar.[7] Ia memberikan contoh orang yang menyatakan hendak mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni, namun dalam pelaksanaanya belum tentu benar. Karena itu, menurutnya, dalam masyarakat harus ada mekanisme untuk tukar pikiran. Atau dalam bentuk yang lebih canggih.[8]
            Nurcholish menyadari bahwa ide-ide seperti oposisi belum bisa diterima bukan saja oleh kalangan penguasa, bahkan juga oleh para politisi partai (oposisi) sendiri. Alasannya oposisi masih dianggap sebagai ancaman, karena dilihat sebagai upaya untuk menjatuhkan pemerintahan.[9] Walaupun demikian gagasan oposisi harus dilaksanan guna membuat keseimbangan antara negara dan masyarakat.


Kesimpulan

            Usaha Nurcholish Madjid mengenai gagasan oposisi berangkat dari kesadaranya akan ajaran agama mengenai prinsip keseimbangan. Upaya tersebut dilakukannya sebagai usaha untuk mengawal kinerja pemerintahan dan kritikan terhadap otoritarianisme rezim orde baru yang melawan arus demokrasi dan mematikan fungsi trias politika.


[1] Diro Aristonang, Runtuhnya Rezim daripada Soeharto (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h.233.
[2] Muhammad A.S Hikam, “Depolitisasi, Reformasi dan Gerakan Mahasiswa, dalam Fahruz Zaman Fadhly”, ed., Mahasiswa Menggugat: Potrer Gerakan Mahasiswa 1998 (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. 27.
[3] Ahmad Gaus A.F, Api Islam Nucholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010), hal. 259.
[4] Nurcholish Madjid, “Menata Kembali Kehidupan Bermasyarakat dan Bernegara”, Titik-Temu Jurnal Dialog Peradaban II, no.1 (Desember 2009): hal. 26.
[5] Ungkapan tersebut dapat dipahami bahwa ia menghendaki agar mahasiswa dan pemuda tidak memilih Golkar dengan tujuan persaingan politik dalam pemilu berlangsung secara imbang. Lihat Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 1998), hal. 6
[6] Ibid, hal. 11.
[7] Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1999), hal. 6
[8] Ujar Nurcholish, “adanya kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan akademik, kebebasan pers, dan sebagainya”. Lihat Ahmad Gaus A.F, Api Islam Nucholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010), hal. 260.
[9] Padahal, menurutnya, “Oposisi itu wujud dari pengakuan adanya perbedaan pandangan, itu sah dan tidak usah khawatir bahwa partai oposisi itu akan menggulingkan pemerintah”. Karena itu Nurcholish Madjid tetap berpandangan bahwa ide mengenai oposisi itu harus dilaksanakan. Lihat Ahmad Gaus A.F, Api Islam Nucholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010), hal. 260.

[full-width]
LKISSAH
LKISSAH

Forum Pecinta Ilmu Sosial dan Sejarah

No comments:

Post a Comment